ETHICAL GOVERNANCE
1.
Pengertian
Ethical Governance
Ethical Governance (Etika
Pemerintahan) adalah nilai-nilai
etik pemerintahan yang menjadi landasan moral bagi penyelenggara pemerintahan.
Dalam Ethical Governance (Etika Pemerintahan) terdapat juga masalah kesusilaan
dan kesopanan dalam aparat, aparatur,
struktur dan lembaganya. Etika pemerintahan tidak terlepas dari filsafat
pemerintahan. filsafat pemerintahan adalah prinsip pedoman dasar yang dijadikan
sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya
dinyatakan pada pembukaan UUD negara.
2.
Landasan
Teori
Rasyid
(1999:48-49) berpendapat keberhasilan pejabat pemerintahan di dalam memimpin
pemerintahan harus diukur dari kemampuannya mengembangkan fungsi pelayanan,
pemberdayaan, dan pembangunan. Karena pelayanan akan membuahkan keadilan dalam
masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan
akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Inilah yang sekaligus menjadi
misi pemerintahan di tengah-tengah masyarakat. Etika pemerintahan sebaiknya
dikembangkan dalam upaya pencapaian misi itu. Artinya setiap tndakan yang tidak
sesuai, tidak mendukung, apalagi yang menghambat pencapaian misi itu,
semestinya dipandang sebagai pelanggaran etik.
3.
Fungsi
Etika Pemerintahan
Secara umum fungsi etika pemerintahan dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan ada dua: 1) sebagai suatu pedoman,
referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan; 2)
sebagai acuan untuk menilai apakah keputusan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela. Widodo (2001:245)
menjelaskan bahwa etika mempersoalkan baik dan buruk bukan benar dan salah tentang sikap, tindakan,
dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya baik dalam masyarakat
maupun organisasi public atau bisnis, maka etika mempunyai peran penting dalam
praktek administrasi Negara. Etika diperlukan dalam administrasi Negara. Etika
dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan
oleh administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus
dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku administrasi Negara
dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk. Karena
administrasi Negara bukan saja berkait dengan masalah pelaksanaan kebijakan
politik saja, tetapi juga berkait dengan masalah manusia dan kemanusiaan.
4. Contoh Kasus Pelanggaran Ethical
Governance
Salah
satu contoh kasus pelanggaran Ethical Governance adalah kasus korupsi simulator
SIM yang terjadi pada bulan Juli tahun 2012. Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs
Polri kembali terbuka, setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas
Polri Irjen Djoko Susilo sebagai
tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM.. Padahal, sebelumnya, Mabes Polri telah
menyatakan, setelah melakukan investigasi penyidikan internal, tak ditemukan
unsur korupsi di proyek tersebut, yang melibatkan Djoko Susilo.
Begitu KPK mengumumkan Irjen Djoko
Susilo sebagai tersangka, terjadilah rentetan kejanggalan yang dilakukan oleh
Polri. Tiba-tiba mereka mengumumkan bahwa mereka juga sebenarnya sedang
menyidik kasus korupsi yang sama. Berbareng dengan itu mengumumkan lima
tersangka versi mereka. Padahal, sebelumnya, berkaitan dengan laporan
investigasi Majalah Tempo (edisi 23-29 April 2012: “Sim Salabim Simulator SIM”)
tentang dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korlantas Polri,
Mabes Polri telah mengirim hak jawabnya dan dimuat di Majalah Tempo edisi
berikutnya.
Surat jawab yang ditulis oleh Kadiv
Humas Mabes Polri saat itu, Irjen Pol. Saud Usman Nasution membantah bahwa ada
korupsi di proyek tersebut. Di dalam surat itu antara lain disebutkan bahwa Tim
Irwil V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri telah mengadakan audit
investigasi. Hasilnya, tidak ada korupsi.
“Tidak ada bukti telah terjadi tindak pidana korupsi di Korps Lalu
Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan pengadaan driving simulator
roda dua dan empat …,” demikian Mabes Polri mengawali hak jawabnya yang dimuat
Tempo itu.
Terjadilah saling merebut kewenangan
menyidik kasus korupsi tersebut. KPK merasa merekalah yang paling berwenang
menyidik kasus tersebut, demikian juga Polri.Polri bahkan sempat melakukan
“serangan balik” juga kepada KPK. Upaya kriminalisasi KPK pun kembali
dilakukan. Pada 5 Oktober 2012, sejumlah aparat kepolisian mengepung Gedung KPK
untuk menangkap salah satu penyidik KPK yang juga berasal dari Polri, Komisaris
(Pol) Novel Baswedan. Dia juga salah satu penyidik KPK yang berperan penting
dalam pengungkapan kasus Djoko Susilo itu.
Polri beralasan hendak menangkap
Novel karena pada 2004, ketika bertugas di Bengkulu, dia pernah melakukan
penganiayaan berat terhadap beberapa tersangka pencuri sarang burung walet di
sana.
Kriminalisai terhadap KPK itu pun
kemudian terbukti merupakan hasil rekayasa, Polri sebagai niat balas dendam mereka kepada KPK. Kejadian ini
semakin memanas perseteruan “cicak vs buaya” jilid 2 ini. Publik berseru-seru
kepada Presiden SBY untuk segera menjadi wasit lagi untuk menengahi kasus
tersebut. Setelah cukup lama perseteruan tersebut dibiarkan terjadi oleh SBY,
barulah dia turun tangan menengahi perseteruan KPK vs Polri itu. Lagi-lagi,
untuk kedua kali SBY menjadi wasit perseteruan “cicak vs buaya” itu.
Pada 8 Oktober 2012, dalam pidato
khususnya tentang perseteruan KPK vs Polri itu, Presiden SBY menyatakan lima
poin yang harus ditaati semua pihak, yaitu, pertama, perkara dugaan korupsi
simulator SIM yang melibatkan Irjen Pol Djoko Susilo ditangani KPK, sedangkan
Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terkait langsung. Kedua, keinginan
polisi melakukan hukum terhadap Komisaris (Pol) Novel Baswedan tidak tepat dari
segi waktu dan cara. Ketiga, pemerintah akan membuat aturan baru tentang
penempatan penyidik Polri di KPK. Keempat, revisi UU yang memperlemah KPK tidak
tepat. Kelima, Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung diharapkan memperbarui nota
kesepahaman yang pernah dibuat.
Berakhirlah kisah “cicak vs buaya”
jilid 2 sampai di situ. Djoko Susilo, akhirnya diproses hukum KPK. Dia kemudian
terbukti bersalah, sampai di tingkat Kasasi Mahkamah Agung, dengan dihukum
penjara selama 18 tahun.
5.
Penyelesaian
/ Saran
Walaupun
ada program pembasmian koruptor dapat dilakukan di Indonesia secara baik, menurut
saya koruptor itu tidak akan bisa habis sama sekali di Indonesia, akan tetapi
setidaknya program basmi koruptor ini akan menekan kehendak berkorupsi di
Indonesia pada tingkat yang paling minimal. Dengan keadaan yg memperihatinkan
tersebut, saya sebagai anak bangsa yg tentunya sangat menginginkan Negeri ini
bersih dari tikus-tikus berdasi mempunyai beberapa saran untuk seseorang atau
beberapa orang yg merasa wakil rakyat yang belum melupakan asas dari rakyat
oleh rakyat untuk rakyat. Saran saya adalah sebagai berikut:
-
Membangun
KPK diseluruh Propinsi
dalam tahap pertama SDM-nya diseleksi dari
orang-orang terbaik dan idealis disuatu Propinsi yang berlatar belakang pendidikan
sarjana hukum dan pastinya mempunyai jiwa nasionalis yang tinggi. Bidang
pekerjaan KPK Propinsi adalah menggarap seluruh kasus-kasus korupsi sampai di
setiap Kabupaten.
-
Membentuk
Kepolisian Khusus KPK
Membentuk Kepolisian KPK yang direkrut,
dididik dan dilatih khusus oleh KPK sendiri dan dipersenjatai oleh Negara
sehingga memiliki dedikasi, keterampilan dan loyalitas yang kuat, tinggi dan
baik kepada KPK, sehingga secara berangsur-angsur KPK tidak lagi bergantung
pada SDM Kepolisian RI saja.
-
Tetapkan
Hukuman Mati
Tetapkan hukuman mati pada kasus korupsi
dalam jumlah manipulasi tertentu, lalu disita seluruh kekayaan terdakwa korupsi
untuk negara dan minimal hukuman 20 tahun penjara pada terdakwa yang tidak di
tetapkan hukuman mati
- Menanamkan
Doktrin yang Kuat Dalam Bidang Pendidikan Terhadap Generasi Penerus Bangsa
Sejak Dini Tentang Dampak Negatif Korupsi
Sumber
: